Pesona Istri Yang Kuabaikan Bab 9



 Bab 9

"Kak, bisa mampir sebentar gak?" Lirih Husniah pada pria yang belum aku ketahui namanya itu.

"Tentu saja, dengan senang hati. Aku ingin bertemu dan berkenalan dengan orang tuamu," sahut pemuda tengil itu.

Aku sudah membencinya hanya dengan mendengar suaranya. Husniah dan pria itu masuk ke dalam teras di mana aku sedang menunggu keduanya.

"Permisi, Om. Nama saya Wisnu," ucapnya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya.

Aku membiarkan tangannya tetap di udara, tak berniat sama sekali menyambutnya.

"Om katamu? Aku bukan om-om," seruku tidak suka

"Oh, Om bukan ayahnya Nia?"

Om lagi! astaga lagi-lagi aku dikira ayah Husniah.

"BUKAN!"

"Lalu siapa? Saudara, Kakak, atau emang Om?"

Aku terdiam, tak berniat sama sekali menjawab pertanyaan pemuda tengil itu. Aku hanya memandangnya dari ujung kaki hingga kepala. Cara berpakaiannya khas anak muda, celana jeans dan kaos polos yang dibalut jaket kulit.

"Saya pembantu di rumah ini, Kak," ucap Husniah menjelaskan siapa dirinya karena aku tidak menanggapi pertanyaan Wisnu sejak tadi.

Lagi-lagi dia menyebut dirinya pembantu.

Tawa pemuda itu meledak saat mendengar jawaban dari Husniah.

"Astaga, Nia. Ada pembantu semanis kamu. Mahasiswi paling cerdas di kelas, mengaku sebagai pembantu saat di rumah. Ayolah, Nia. Pandai sekali kamu melucu. Jika kamu memang seorang pembantu, ayo ikut saja bersamaku dan jadi pembantu di rumahku. Akan aku gaji kamu berkali-kali lipat dan pekerjaanmu hanya mengurusku," cerocos pemuda itu sambil menaik turunkan alisnya.

Sungguh menyebalkan, dia berani menggoda wanita yang sudah aku nikahi tepat di hadapanku.

"Nia, masuk kedalam rumah!" Perintahku pada Husniah.

"Mas, biarkan dia pulang. Kasian sudah malam," pinta Husniah padaku.

"Masuklah, aku akan bicara dengan dia dulu."

Gadis itu tampak enggan meninggalkan kami berdua.

"Jangan membuatnya marah, agar kami bisa segera pulang," bisik Husniah pada pemuda bernama Wisnu itu. Tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas.

"Apa hubunganmu dengan Nia?" tanyaku pada Wisnu begitu Husniah sudah masuk ke dalam rumah.

"Kami hanya berteman, tapi kalau Nia mau, aku ingin jadi pacarnya. Kalau dia tidak mau pacaran, langsung nikah pun aku tak keberatan," jawab pemuda itu tanpa basa-basi.

"Jaga ucapanmu!"

"Sebenarnya Om ini siapanya Husniah sih, galak banget. Aku yakin wanita solehah seperti dia bukan simpanan om-om."

"Kamu tidak perlu tahu dan jagalah otak dan lidahmu itu saat memikirkan dan membicarakan Husniah. Besok tidak usah kau antar dia lagi."

"Aku tidak bisa membiarkan gadis itu naik angkutan umum dan berdesakan di jam orang pulang kerja. Naik ojek juga terlalu jauh, bagaimana kalau terjadi apa-apa di jalan saat pulang senja seperti itu. Jika tidak punya waktu untuk menjemputnya, setidaknya biarkan orang lain mengantarkan dia. Gadis sebaik Nia, banyak orang ingin menjaganya.

"Aku nggak tahu siapa Om ini bagi, Nia. Tapi biarkan saya menjaganya. Permisi, Om."

Pemuda bernama Wisnu itu langsung balik badan setelah berpamitan. Apa-apaan tuh anak tidak sopan sekali, dia dan Husniah sangat jauh berbeda, bagaikan langit dan bumi. Bagaiman mereka bisa akrab.

Aku segera masuk ke dalam rumah, bergegas menerobos begitu saja ke kamar yang di tempati Husniah. Entah kenapa aku merasa marah saat dia dekat dengan laki-laki lain. Gadis itu tampak hendak berganti pakaian. Melihatku datang, dia kembali menyambar kerudungnya yang ada di atas tempat tidur dan hendak memakainya. Namun dengan segera aku merebut kain penutup kepala itu dan melemparkannya ke atas tempat tidur dengan kasar.

"Kamu apa-apaan sih, Mas!" seru Husniah tidak suka.

"Kamu yang apa-apaan, pulang malam diantar laki-laki."

"Ini baru jam tujuh malam, Mas. Lagipula dia hanya berbaik hati mengantarku."

"Baik hati katamu, pemuda slengean itu kamu bilang baik?"

"Dia memang begitu, tapi hatinya baik, Mas," ucapnya sambil menunduk.

"Sejak kapan kamu bisa menilai isi hati orang."

"Kamu kenapa sih, Mas." Husniah berkata sambil menjauh dariku.

Mungkin dia takut denganku yang seakan siap meledak. Gadis itu berjalan ke arah pintu keluar untuk menghindariku.

"Kamu yang kenapa, kamu itu istriku, tentu saja aku berhak marah dan tidak suka saat kamu bersama pria lain."

Husniah tidak membantah lagi, hanya saja dia tetap berlalu berusaha meninggalkanku. Entah kenapa aku tidak terima dengan apa yang dia lakukan, biasanya aku akan membiarkan dia pergi menghindariku aku malah senang dengan semua itu.

"Aku belum selesai bicara," desisku sembari mencengkeram pergelangan tangannya.

Gadis yang saat ini tanpa kerudung itu menghela nafas panjang.

"Bicaralah, Mas. Aku akan mendengarkan."

"Kenapa kamu bilang pada Wisnu kalau kamu pembantu di rumah ini?"

"Lalu aku harus bilang apa, kamu juga tidak mengatakan apapun saat dia bertanya. Semua orang yang kamu kenal juga tahunya aku pembantumu, Ibu Mery, teman wanitamu yang seksi itu, dan entah siapa lagi. Apa yang salah kalau teman-temanku juga menganggapku pembantumu."

"Salah! Karena kamu istriku!"

"Sejak kapan aku naik status dari pembantu menjadi istri, Mas?"

"Sejak saat aku menyadari kalau aku mengagumimu dan menyukaimu! Harusnya kamu tahu atau hanya pura-pura tidak tahu!" seruku dalam hati.

Aku terlalu gengsi untuk mengakui perasaanku padanya.

"Lakukan saja yang aku katakan tanpa banyak bertanya," ucapku sambil mencengkram bahunya.

Aku menyalurkan semua kemarahanku pada kedua tanganku. Husniah sampai berjingkrat kaget dengan perlakuanku padanya.

"Apa tak cukup kamu menyakiti aku secara verbal, Mas. Apa sekarang kamu juga ingin menyakiti fisikku. Selama ini aku melakukan semuanya sebisaku, aku sering kali menghindarimu bukan karena aku tidak menghormatimu, bukan juga karena tidak tahu terimakasih. Hanya saja, aku tidak ingin mendapatkan kemarahanmu, kemarahan yang bahkan aku tidak tahu dimana letak kesalahanku."

Mata gadis itu menatapku kali ini, bening dan seakan terlapisi kaca-kaca yang rapuh. Sekali saja dia berkedip, maka kaca-kaca itu akan pecah dan menjadi lelehan air mata.

"Tolong lepaskan, ini menyakitkan," pintanya sembari mengurai cengkraman tanganku di bahunya.

Perlahan aku lepaskan cengkraman tanganku. Aku membiarkannya keluar kamar, kata-katanya seakan sebuah tamparan buatku. Aku selalu menyakitinya selama ini, bahkan dia tidak mendapatkan nafkah lahir dan batin yang seharusnya menjadi haknya. Dia melakukan segalanya urusan rumah tangga di sini selayaknya pembantu rumah tangga, dan itupun tidak ada gaji untuknya. Masih mending Pembantu yang digaji majikannya.

Dia menelan kata-kataku yang selalu menyakitinya sejak pertama kali dia menjejakkan kaki di rumah ini. Dia merawat lukanya dan kesedihannya sendirian pada saat seharusnya dia butuh sandaran. Dia merawat dirinya sendiri, bahkan merawatku juga rumahku, dan sekarang aku ingin diakui sebagai suaminya. Itupun dihadapan teman-temannya saja.

Apakah aku pria sebrengsek itu?

Posted by
Facebook Twitter Google+