Pesona Istri Yang Kuabaikan Bab 8

Pesona Istri Yang Kuabaikan, Novel Pesona Istri Yang Kuabaikan

Bab 8

"Mas Hanan perlu sesuatu? Mas!" Panggilan Husniah menarik kesadaranku.

Ah, shit! Aku membayangkan hal yang tidak-tidak. Husniah sudah menutupi seluruh tubuhnya kembali. Memakai kardigan dan jilbab segiempat bertengger di kepalanya seperti biasanya.

Gadis itu terlihat canggung dengan keberadaanku, pipinya memerah. Pipinya yang mulai berisi, terlihat chubby dan mengemaskan dibalik jilbab yang membalutnya. Oh Hanan, berhentilah berpikir yang tidak-tidak, aku mengumpat diriku sendiri.

"Mas Hanan perlu sesuatu?" tanya Husniah lagi.

"Aku mau kopi," jawabku asal.

Padahal tadi pagi aku sudah meminum kopi dan ini baru jam sembilan.

"Lagi?" tanya Husniah memastikan.

Mungkin merasa aneh karena dia tahunya aku hanya minum kopi di pagi hari.

"Ya."

Aku kembali turun dari tempat itu, berlalu meninggalkannya, seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal aku merasa ada yang aneh di dalam dadaku, masa iya aku jatuh cinta pada gadis itu. Tidak! Dia bukan tipeku. Aku suka wanita modis dan cerdas seperti Lita.

***

Setelah kejadian di atap hari itu, aku lebih sering memperhatikan Husniah. Gadis itu benar-benar sudah berubah. Benar yang aku pikirkan, baju-bajunya tak lagi terlihat kedodoran, semua pas di badannya. Tidak terlalu ketat menempel tidak juga terlalu longgar. Wajahnya juga terawat dan bersih, entah dia memiliki uang darimana untuk membeli perlengkapan perawatan wajah. Apa dia memiliki banyak warisan, hingga dia bisa kuliah dan memenuhi semua kebutuhannya tanpa meminta satu rupiahpun padaku. Entahlah aku tidak ingin tahu selama ini.

Sekarang, wajahnya tampak berseri-seri, tidak ada lagi kesedihan, dia juga tidak pernah terlihat menangis lagi. Gadis itu lebih banyak menghindariku, mungkin karena aku salah satu penyebab dia bersedih dengan kata-kataku. Saat aku pulang kerja, dia akan membukakan pintu seperti biasanya. Mengatakan makanan sudah tersaji di meja dan akan masuk ke kamarnya. Dia akan keluar lagi dan membereskan bekas makananku saat aku sudah masuk ke kamar. Begitu yang terjadi selama ini, dan aku menikmatinya. Merasa senang dan terbebas dari gadis itu. Cenderung menganggapnya tidak ada.

"Lagi ngapain?" tanyaku sambil duduk di depannya.

Husniah sedang asyik dengan buku-buku tebal di hadapannya. Mungkin dia sedang mengerjakan tugas kuliah.

"Mas Hanan tidak pergi?"

Bukannya menjawab pertanyaanku. Husniah malah balik bertanya. Hari ini memang hari libur dan biasanya aku akan pergi dengan Lita. Namun sudah dua minggu ini aku tidak berniat pergi dari rumah di hari libur. Aku mulai menikmati memperhatikan gadis yang ada di rumahku, Husniah.

"Enggak, malas," jawabku singkat. "Kamu kapan selesai kuliah?" sambungku berbasa-basi.

Husniah menghentikan gerak tangannya yang sejak tadi terlihat menggerak-gerakkan mouse yang ada di tangan kanannya.

"Aku baru kuliah satu tahun, harusnya masih butuh tiga tahun lagi aku baru lulus. Sabar yaa, Mas. Aku janji maksimal tiga tahun lagi aku akan merepotkanmu dan tinggal di rumahmu. Bersabarlah sebentar lagi," ucapnya sambil tersenyum dan menatapku sekilas.

Dia tak lagi menapakkan kesedihannya seperti dulu, padahal dari kata-katanya dia menduga aku sudah tidak ingin lagi dia tinggal bersamaku.

Kali ini malah aku yang seperti merasa sedih saat mendengar kata dia akan pergi. Seperti ada rasa tidak rela.

"Tahun ini ayo kita pulang saat lebaran, aku sudah cukup bisa menguasai diri dan tidak bersedih lagi. Kita bisa berpura-pura menjadi pasangan yang bahagia di depan Ibu," ucap Husniah sambil fokus kembali pada layar laptopnya.

Tahu lalu, kami memang tidak pulang. Husniah berasalan dia sibuk, karena baru masuk kuliah.

Aku diam, tak menanggapi perkataannya.

"Kamu punya laptop, kapan belinya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Aku bahkan tidak tahu Husniah punya apa dan butuh apa saja selama dia kuliah. Gadis itu menatapku, lalu hanya memperlihatkan senyum sebaris. Tidak menjawab pertanyaanku.

Husniah kembali larut dalam kesibukannya, tangannya lincah menari di atas keyboard. Sesekali pandangannya beralih ke buku yang terbuka di sampingnya. Namun lebih banyak menatap pada layar laptop di depannya. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Mungkin mengikuti arah kursor di depannya. Posisinya yang menunduk memperlihatkan bulu matanya yang panjang dan lentik, semakin lentik. Dia cantik, dan aku terlambat menyadarinya.

"Mas, aku ke kamar yaa, kalau butuh sesuatu panggil saja," ucapnya sambil berlalu meninggalkanku tanpa menunggu jawaban dariku.

Kapan dia membereskan buku-buku dan laptopnya. Tau-tau saja sudah pergi dari dihadapkanku, apa dia tidak nyaman dengan apa yang aku lakukan.

****

Sudah beberapa hari ini, Husniah pulang terlambat, dia bilang seminggu penuh akan pulang telat. Meskipun dia tidak melalaikan semua tugasnya di rumah, meksipun dia selalu ijin padaku, namun ada yang kurang saat tidak ada yang menyambutku kala pulang kerja. Aku merasa kehilangan.

Gadis itu mengatakan ada tugas kuliah yang membuatnya harus sering pulang terlambat. Selepas Maghrib, baru dia ada akan datang dengan diantar seseorang. Kupikir dia tukang ojek, tapi sudah tiga hari ini aku lihat orangnya itu-itu saja.

Aku sengaja memerhatikan dari lantai atas, tempat dimana bunga-bunga makin tubuh dengan subur. Aku bisa melihat Husniah dibonceng lelaki yang sama dengan motor yang itu-itu saja, saat masih di ujung jalan yang bisa terlihat dari tempatku berdiri. Kali ini pun aku melihatnya bersama pria yang sama. Aku sangat yakin dengan penglihatanku.

Bergegas aku turun ke bawah, sengaja menunggunya di teras.

"Terimakasih ya, Kak," ucapnya lembut pada seseorang yang mengantarkannya terdengar jelas di telingaku.

"Aku gak diajak mampir?" tanya pria itu.

Tidak terdengar jawaban apapun dari Husniah, aku yakin dia hanya menjawabnya dengan senyuman seperti biasanya.

"Nia, suruh dia masuk," teriakku dari arah teras.

Gerbang bergeser, kemudian menyembul kepala gadis itu dan memandangku.

"Tapi, Mas ...."

"Suruh dia masuk, Nia!" Ucapku penuh penekanan dengan sorot mata tajam padanya.

Aku ingin tahu siapa pemuda itu, berani-beraninya dia menggoda istriku.

Posted by
Facebook Twitter Google+