Pesona Istri Yang Kuabaikan Bab 10

Pesona Istri Yang Kuabaikan Bab 10

Bab 10

Sejak kejadian malam itu, aku dan Husniah perang dingin. Dia tetap melakukan semuanya seperti biasanya. Namun semakin hari, jadwal kuliahnya terlihat semakin padat. Gadis itu terus saja pulang lebih lambat daripada aku. Lebih sering kulihat dia berjalan kaki, dia tak lagi diantara oleh pemuda itu. Mungkin dia naik angkot yang berhenti di pintu gerbang perumahan ini. Untuk masuk ke dalam komplek perumahan cukup jauh, dan pasti melelahkan. Kenapa dia tidak naik ojek saja.

Dia tak pernah lagi terlihat duduk dan mengerjakan tugas kuliahnya di ruang tamu seperti dulu, kadang kala kulihat dia merendam kakinya saat aku sudah beranjak masuk ke kamar. Aku pernah melihatnya secara tak sengaja saat hendak mengambil air minum. Apa dia kelelahan?

Tak lagi kudapati dia menyetrika di pagi hari saat libur seperti dulu, entah jam berapa Husniah melakukan pekerjaan itu sekarang. Pokoknya sebisa mungkin dia tidak berpapasan denganku di rumah ini. Rumah ini tidaklah besar, tapi untuk bisa bersua dengannya secara tidak sengaja seperti hal yang mustahil, aku dan dia bagaikan tinggal di kota yang berbeda.

Kenapa tidak sekali saja dia membuka dirinya untukku, memintaku menjemputnya atau semacamnya. Kenapa dia melakukan Semua sendiri, dan menganggapku tidak ada.

"Mas, dua bulan ke depan aku akan lebih lama tinggal di luar rumah. Tapi aku akan tetap bertanggungjawab dengan pekerjaanku di rumah ini."

Pekerjaan yang dia maksudkan pasti pekerjaan rumah tangga. Hari ini tidak biasanya gadis itu sarapan denganku.

"Sudah biasa kan kamu selalu pulang terlambat sekarang."

"Kali ini aku akan berangkat pagi seperti kamu berangkat kerja."

Aku mengerutkan kening mendengar perkataannya.

"Aku mulai PKL di sebuah perusahaan," terangnya tanpa diminta.

"Sudah PKL, perasaan belum lama kuliah."

"Aku lebih cepat mengambil mata kuliah itu."

Esok harinya, gadis itu benar-benar sudah merapikan segalanya di pagi buta. Bahkan dia sudah berganti pakaian dengan rok hitam dan kemeja berwarna putih, khas seragam anak-anak magang saat aku hendak sarapan.

"Mas, aku sudah memasak untuk makan malam sekalian. Kamu tinggal menghangatkan saja. Aku berangkat dulu, ya?"

"Sepagi ini?" tanyaku keheranan.

"Perusahaan itu jauh dan aku tidak boleh terlambat," terangnya.

"Ayo bareng, aku jalan sekarang juga." Aku urungkan untuk sarapan.

"Tidak usah, Mas. Lagipula belum tentu kita searah." Husniah seakan menolak tawaranku

"Setidaknya akan kuantar sampai halte."

"Ya udah kamu sarapan saja dulu," ucapnya seraya duduk kembali di kursi yang ada di hadapanku.

"Kamu sudah sarapan?"

"Sudah."

"Bangun dari jam berapa?"

"Tiga."

Aku menghela nafas, Husniah menjawab pertanyaanku pendek-pendek. Terlihat dia duduk dengan gelisah, sambil sesekali menatap ke arah jam dinding yang ada di ruangan ini.

"Ayo aku sudah selesai."

Husniah menatapku kemudian beralih ke piring yang hanya aku makan setengah porsi saja.

"Aku sudah selesai sarapan." Aku berkata sambil berlalu.

Husniah mengekor langkahku, kami berjalan bersama ke luar rumah. Gadis itu memberikan kunci rumah padaku saat sudah berada di dalam mobil. Biasanya dia akan meninggalkan di suatu tempat di rumah dan memberitahu letaknya padaku. Tempat yang selalu berbeda-beda setiap harinya.

"Kenapa kamu berikan padaku?"

"Mas Hanan pasti lebih dulu sampai rumah daripada aku."

"Kamu sekarang lebih dari wanita karir, selalu pulang lebih malam," sindirku.

"Jika aku menikah dan menjadi ibu rumah tangga, aku tidak akan melakukan semua ini."

Apa dia bilang barusan, jika aku menikah. Bukannya dia memang sudah menikah.

"Bukannya kamu memang sudah menikah."

"Aku memang sudah menikah, tapi tidak menjadi istri."

Astaga ... sejak kapan dia terus saja menjawab setiap kata yang keluar dari mulutku. Sepertinya dia masih sangat marah padaku, hingga ucapanku selalu dimentahkan olehnya.

"Kenapa tidak naik ojek saja, malah jalan kaki setiap hari?" Kuubah topik pembicaraan kami.

"Mas, gunung emas pun lama-lama akan habis jika dikeruk tiap hari."

Bukannya menjawab pertanyaanku malah dia mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti.

"Ayah dan Bunda memang meninggalkan uang yang cukup banyak untukku. Tapi kalau aku ambil setiap hari tanpa ditambah maka lama-kelamaan akan habis juga. Aku tidak ingin uang itu habis sebelum aku bisa mencarinya sendiri. Aku punya kaki, itu aset yang di berikan Allah agar aku bisa berhemat. Aku cukup menggunakan uang itu untuk kuliah dan makan," sambungannya menjelaskan.

Deg! Makan dia bilang? Apa selama ini dia makan dengan uangnya sendiri. Pantas saja aku merasa tidak pernah menambah jumlah belanjaku meksipun ada dua mulut yang harus beri makan. Saat aku lihat stok bahan makanan, selalu saja masih banyak. Hanya sayuran dan buah-buahan yang lebih cepat habis.

"Aku berhati di halte depan situ," ucap Husniah menyadarkanku.

Gadis itu menunjuk pada sebuah halte yang paling dekat dengan perumahan yang kami tempati. Untuk sampai ke Hale ini, ada sebuah angkot kecil yang melewati jalanan menuju gerbang perumahan.

Setelah aku mengentikan mobil, Husniah langsung turun setelah mengucapkan terimakasih. Tidak ada senyuman untukku di wajahnya seperti biasanya.

Husniah langsung masuk ke halte yang sudah diisi oleh antrian orang yang hendak naik angkutan umum tersebut. Banyak orang yang sudah menunggu, kupastikan gadis itu tidak akan mendapatkan tempat duduk. Dan itu terjadi setiap hari, apa lagi pada jam-jam orang pulang kerja. Pasti selalu padat dan berdesakan.

Aku teringat ucapan Wisnu waktu itu, sekarang pemuda itu tidak lagi mengantarkan Husniah, pasti gadis itu yang menolaknya.

Kujalankan kembali mobilku dengan pikiran berkecamuk. Aku cukup nyaman pulang pergi ke kantor naik mobil, sedangkan wanita yang kuakui sebagai istri itu berjuang berdesakan dengan orang lain. Aku nyaman beristirahat saat di rumah, tapi wanita yang sudah kunikahi itu menghabiskan waktu istirahatnya untuk mengerjakan urusan rumah tangga. Dia memasak makanan untukku, tapi dia membeli sendiri makanan untuknya. Dia mengikuti segala keinginanku tapi aku sibuk mengikuti keinginan wanita lain. Aku memang tidak pantas disebut suami olehnya.

***

"Mas, ngelamun aja sih!" seru Lita mengagetkanku.

Aku memang sibuk melamun seharian ini, tidak fokus bekerja dan selalu memikirkan Husniah. Ingin rasanya mengirim pesan dan bertanya jam berapa dia pulang, sudah makan atau belum, atau segala sesuatu yang mencerminkan perhatian, namun aku urung melakukannya. Tidak pernah sama sekali aku melakukannya itu, pasti dia akan merasa aneh.

"Lagi banyak pikiran," sahutku sambil memaksa tersenyum pada wanita yang berdiri di depan mejaku itu.

"Mikirin aku?" tanyanya sambil tersenyum, memamerkan lesung pipinya yang menawan.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, hanya menarik sudut bibir dengan terpaksa.

"Ayah mintaku untuk mengajakmu mampir ke rumah hari ini. Mau di ajak makan malam bersama."

"Dalam rangka apa?" Aku bertanya dengan perasaan tidak enak. Kenapa ayahnya memintaku datang padanya.

"Sepertinya mau menanyakan kapan kamu mau menikahiku, aku sudah siap menikah," bisik Lita sambil tersenyum malu-malu, kemudian berlalu meninggalkanku.

Posted by
Facebook Twitter Google+